Oleh: Abu Fatiah Al-Adnani
Anas bin Malik ra berkata:
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى نَدَعُ الِائْتِمَارَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنْ الْمُنْكَرِ قَالَ إِذَا ظَهَرَ فِيكُمْ مَا ظَهَرَ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ إِذَا كَانَتْ الْفَاحِشَةُ فِي كِبَارِكُمْ وَالْمُلْكُ فِي صِغَارِكُمْ وَالْعِلْمُ فِي رُذَالِكُمْ
Ditanyakanlah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, “Ya Rasulullah, kapan kami akan meninggalkan amar makruf dan nahi munkar?” Beliau menjawab, “Jika muncul di tengah kalian suatu perkara yang pernah muncul pada zaman Bani Israil, yaitu perbuatan keji dilakukan oleh para pembesar, pemerintahan dipegang oleh anak-anak kecil, dan ilmu berada di tangan orang-orang yang (bermental) rendah.” [ HR. Ibnu Majah, Al-Fitan, hadits no. 4015 [Sunan Ibnu Mâjah (2/1331)]
Membaca sirah kehidupan para salaf, maka kita akan dapati kisah mereka bertabur dengan semangat amar ma’ruf dan nahi munkar. Mereka sadar bila hidup mereka bagai satu kaum yang berada dalam satu bahtera; semua harus kompak menjaga kapal tersebut agar tidak rusak. Satu orang yang melobangi bagian bawah kapal karena ingin mengambil air dengan cara praktis lalu dibiarkan, maka yang tenggelam bukan hanya si pelobang kapal. Namun seluruh penumpang juga akan tenggelam bersama. Kisah Umar bin Khattab di saat menjelang sakaratul maut yang menegur pemuda berpakaian isbal dan kisah anak kecil yang menegur Imam Abu Hanifah supaya berhati-hati agar tidak tergelincir, adalah sedikit contoh bagaimana semangat mereka untuk selalu menjadikan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai bagian penting kehidupan mereka.
Adalah Anas bin Malik, salah seorang sahabat nabi yang selalu mendampingi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam merasa khawatir bila pola hidup dan tradisi ini suatu saat akan lenyap. Maka beliau bertanya kepada Rasulullah tentang datangnya masa di mana kaum muslimin akan meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Riwayat di atas menjelaskan ada tiga ciri zaman di mana kaum muslimin akan kesulitan, atau nyaris merasa putus asa untuk melaksanakan ibadah amar ma’ruf dan nahi munkar. Ciri zaman itu mirip seperti yang pernah berlaku pada masyarakat Bani Israel;
Pertama, para penguasa dan pembesarnya sangat rusak moralnya, lantaran hobi mereka berbuat fakhisyah/ zina dan semua produk turunannya. Ketika para pelaku maksiat dan fakhisyah ini adalah para penguasa (politik maupun ekonomi), maka umat Islam akan sangat berat untuk melakukan nahi munkar atas mereka. Sebab, para penguasa ini lazim memiliki backing yang kuat untuk melindungi kemaksiatan yang mereka lakukan.
Para pembesar dan penguasa ini bisa membayar para preman dan polisi untuk mengamankan perbuatan keji mereka. Dan inilah fakta yang terjadi, dimana kaum muslimin yang ingin menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar akan berhadapan dengan kekuatan para preman bayaran ini. Banyaknya korban umat Islam dan semakin kuatnya backing penguasa ini membuat kaum muslimin putus asa dan merasa tidak banyak manfaat amar ma’ruf dan nahi munkar yang mereka lakukan.
Kedua, ketika kekuasaan dipegang oleh mereka yang masih belia. Makna shighar bisa berarti belia secara usia biologis namun juga bisa bermakna belia secara psikologis dan ideologis. Watak dominan anak muda adalah ceroboh, tergesa-gesa, serta mudah menurutkan hawa nafsunya. Jika demikian, maka tatanan masyarakat akan menjadi sangat rapuh dan permisif. Sebab, standar hidup mereka akan kepuasan syahwat. Namun, jika yang dimaksud dengan shigharuhum itu adalah orang-orang bermental rendah, fasik dan fajir, maka bencana yang akan terjadi lebih besar. Berdasarkan berbagai riwayat yang ada, makna shighar yang berarti orang-orang rendahan dan fasik adalah yang lebih kuat.
Dan inilah yang sedang kita saksikan. Ketika para penguasa adalah mereka yang bermental rendah, fasik dan fajir, pendosa dan sangat hobi dengan maksiat, lagi-lagi amar ma’ruf dan nahi munkar akan menjadi tumpul. Sebab –sekali lagi- para penguasa bermental rendah itu akan sewenang-wenang dengan kekuasaannya. Dan, nyaris sebagian besar program mereka saat berkuasa adalah melestrarikan kemaksiatan dan kemunkaran.
Ketiga, orang-orang fasik yang mempermainkan ilmu agama. Jika ilmu dipegang oleh orang-orang yang fasik, bisa dibayangkan mereka akan mempermainkan ilmu yang ada pada dirinya dengan berbagai takwilan tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menyesatkan. Mereka juga menggunakan kedua sumber ini untuk memperturutkan kehendak hawa nafsunya.
Kelompok pembela paham liberal, kebebasan dan para pendukungnya, dengan segenap kekuatan finansial dan sayap medianya akan menyebarkan syubhat dan kerancuan berfikir ke tengah umat. Hal yang membuat siapapun akan berfikir panjang untuk mendebat dan melawan pemikiran rusak mereka. Sebab, mereka sangat lihai bersilat lidah. Pun, jika para ulama yang tsiqah bisa mematahkan hujjah mereka, maka segenap jejaring sosial dan media sekuler akan segera membungkam berita tersebut agar tidak tersebar ke tengah umat. Jika mereka sedikit berada di atas angin, maka media-media sekuler itu akan ramai memblow-up, hingga seakan pelaku amar ma’ruf nahi munkar itu akan terpojok, lalu dihujat bersama sebagai kelompok anarkis, anti demokrasi atau bahkan dianggap kekanak-kanakan.
Inilah zaman dimana ketiga ciri itu sangat nyata kita saksikan hari ini. Ciri yang dominan adalah kolaborasi kejahatan ulamanya dan kebejatan penguasanya; dua musuh utama yang membuat amar ma’ruf nahi munkar nyaris tidak berfungsi. Sebab, kedua akan bermain besi.
Yang perlu diingat, isyarat hadits di atas bukan legimitasi meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar secara total. Namun lebih kepada penggambaran betapa beratnya ibadah amar ma’ruf dan nahi munkar di akhir zaman. Wallahu a’lam bish shawab.*
Anas bin Malik ra berkata:
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى نَدَعُ الِائْتِمَارَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنْ الْمُنْكَرِ قَالَ إِذَا ظَهَرَ فِيكُمْ مَا ظَهَرَ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ إِذَا كَانَتْ الْفَاحِشَةُ فِي كِبَارِكُمْ وَالْمُلْكُ فِي صِغَارِكُمْ وَالْعِلْمُ فِي رُذَالِكُمْ
Ditanyakanlah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, “Ya Rasulullah, kapan kami akan meninggalkan amar makruf dan nahi munkar?” Beliau menjawab, “Jika muncul di tengah kalian suatu perkara yang pernah muncul pada zaman Bani Israil, yaitu perbuatan keji dilakukan oleh para pembesar, pemerintahan dipegang oleh anak-anak kecil, dan ilmu berada di tangan orang-orang yang (bermental) rendah.” [ HR. Ibnu Majah, Al-Fitan, hadits no. 4015 [Sunan Ibnu Mâjah (2/1331)]
Membaca sirah kehidupan para salaf, maka kita akan dapati kisah mereka bertabur dengan semangat amar ma’ruf dan nahi munkar. Mereka sadar bila hidup mereka bagai satu kaum yang berada dalam satu bahtera; semua harus kompak menjaga kapal tersebut agar tidak rusak. Satu orang yang melobangi bagian bawah kapal karena ingin mengambil air dengan cara praktis lalu dibiarkan, maka yang tenggelam bukan hanya si pelobang kapal. Namun seluruh penumpang juga akan tenggelam bersama. Kisah Umar bin Khattab di saat menjelang sakaratul maut yang menegur pemuda berpakaian isbal dan kisah anak kecil yang menegur Imam Abu Hanifah supaya berhati-hati agar tidak tergelincir, adalah sedikit contoh bagaimana semangat mereka untuk selalu menjadikan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai bagian penting kehidupan mereka.
Adalah Anas bin Malik, salah seorang sahabat nabi yang selalu mendampingi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam merasa khawatir bila pola hidup dan tradisi ini suatu saat akan lenyap. Maka beliau bertanya kepada Rasulullah tentang datangnya masa di mana kaum muslimin akan meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Riwayat di atas menjelaskan ada tiga ciri zaman di mana kaum muslimin akan kesulitan, atau nyaris merasa putus asa untuk melaksanakan ibadah amar ma’ruf dan nahi munkar. Ciri zaman itu mirip seperti yang pernah berlaku pada masyarakat Bani Israel;
Pertama, para penguasa dan pembesarnya sangat rusak moralnya, lantaran hobi mereka berbuat fakhisyah/ zina dan semua produk turunannya. Ketika para pelaku maksiat dan fakhisyah ini adalah para penguasa (politik maupun ekonomi), maka umat Islam akan sangat berat untuk melakukan nahi munkar atas mereka. Sebab, para penguasa ini lazim memiliki backing yang kuat untuk melindungi kemaksiatan yang mereka lakukan.
Para pembesar dan penguasa ini bisa membayar para preman dan polisi untuk mengamankan perbuatan keji mereka. Dan inilah fakta yang terjadi, dimana kaum muslimin yang ingin menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar akan berhadapan dengan kekuatan para preman bayaran ini. Banyaknya korban umat Islam dan semakin kuatnya backing penguasa ini membuat kaum muslimin putus asa dan merasa tidak banyak manfaat amar ma’ruf dan nahi munkar yang mereka lakukan.
Kedua, ketika kekuasaan dipegang oleh mereka yang masih belia. Makna shighar bisa berarti belia secara usia biologis namun juga bisa bermakna belia secara psikologis dan ideologis. Watak dominan anak muda adalah ceroboh, tergesa-gesa, serta mudah menurutkan hawa nafsunya. Jika demikian, maka tatanan masyarakat akan menjadi sangat rapuh dan permisif. Sebab, standar hidup mereka akan kepuasan syahwat. Namun, jika yang dimaksud dengan shigharuhum itu adalah orang-orang bermental rendah, fasik dan fajir, maka bencana yang akan terjadi lebih besar. Berdasarkan berbagai riwayat yang ada, makna shighar yang berarti orang-orang rendahan dan fasik adalah yang lebih kuat.
Dan inilah yang sedang kita saksikan. Ketika para penguasa adalah mereka yang bermental rendah, fasik dan fajir, pendosa dan sangat hobi dengan maksiat, lagi-lagi amar ma’ruf dan nahi munkar akan menjadi tumpul. Sebab –sekali lagi- para penguasa bermental rendah itu akan sewenang-wenang dengan kekuasaannya. Dan, nyaris sebagian besar program mereka saat berkuasa adalah melestrarikan kemaksiatan dan kemunkaran.
Ketiga, orang-orang fasik yang mempermainkan ilmu agama. Jika ilmu dipegang oleh orang-orang yang fasik, bisa dibayangkan mereka akan mempermainkan ilmu yang ada pada dirinya dengan berbagai takwilan tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menyesatkan. Mereka juga menggunakan kedua sumber ini untuk memperturutkan kehendak hawa nafsunya.
Kelompok pembela paham liberal, kebebasan dan para pendukungnya, dengan segenap kekuatan finansial dan sayap medianya akan menyebarkan syubhat dan kerancuan berfikir ke tengah umat. Hal yang membuat siapapun akan berfikir panjang untuk mendebat dan melawan pemikiran rusak mereka. Sebab, mereka sangat lihai bersilat lidah. Pun, jika para ulama yang tsiqah bisa mematahkan hujjah mereka, maka segenap jejaring sosial dan media sekuler akan segera membungkam berita tersebut agar tidak tersebar ke tengah umat. Jika mereka sedikit berada di atas angin, maka media-media sekuler itu akan ramai memblow-up, hingga seakan pelaku amar ma’ruf nahi munkar itu akan terpojok, lalu dihujat bersama sebagai kelompok anarkis, anti demokrasi atau bahkan dianggap kekanak-kanakan.
Inilah zaman dimana ketiga ciri itu sangat nyata kita saksikan hari ini. Ciri yang dominan adalah kolaborasi kejahatan ulamanya dan kebejatan penguasanya; dua musuh utama yang membuat amar ma’ruf nahi munkar nyaris tidak berfungsi. Sebab, kedua akan bermain besi.
Yang perlu diingat, isyarat hadits di atas bukan legimitasi meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar secara total. Namun lebih kepada penggambaran betapa beratnya ibadah amar ma’ruf dan nahi munkar di akhir zaman. Wallahu a’lam bish shawab.*
Belum ada tanggapan untuk "Zaman Ketika Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar Ditinggalkan"
Posting Komentar