Inspirasi Terbaru :
Loading...
  |

Panduan Ringkas dan Lengkap Puasa Ramdhan




Hukum Puasa

Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam dan juga merupakan salah satu kewajibannya.

Dalil-dalil wajibnya Puasa:

· Al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [Al-Baqarah: 183]

· Hadits

Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَ إِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإيِْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَ صَوْمِ رَمَضَانَ.

“Islam didirikan di atas lima dasar, yaitu bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Al-lah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berhaji ke Baitullah dan puasa pada bulan Ramadhan.” [ Telah berlalu takhrijnya pada kitab ath-Thaharah]

· Ijma’ ulama

Dan umat telah sepakat tentang kewajiban puasa bulan Ramadhan, dan ia merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam yang telah diketahui dari agama secara pasti. Barangsiapa yang mengingkari akan kewajibannya, maka ia telah kafir atau keluar dari Islam.[Fiqhus Sunnah (I/366).]

Keutamaan Puasa

1. Diampuni dosa-dosa

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, niscaya dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/115, no. 1901), Sunan an-Nasa-i (IV/157), Sunan Ibni Majah (I/526, no. 1641), Shahiih Muslim (I/523, no. 760).]

2. Pahala yang tidak terhingga

Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfiman:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِى بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ, فَإِذَا كَانَ يَوْمَ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ وَلاَ يَجْهَلْ, فَإِذَا شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَليَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ, مَرَّتَيْنِ, وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ. وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ, وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ.

“Setiap amal anak Adam adalah untuknya sendiri kecuali puasa, di mana puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku akan memberikan pahala atasnya. Puasa itu adalah perisai, jika pada hari yang salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, membuat kegaduhan dan tidak juga melakukan perbuatan orang-orang bodoh. Dan jika ada orang yang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’ -dua kali- Demi Rabb yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah pada hari Kiamat nanti dari pada bau minyak kasturi. Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kegembiraan, jika berbuka, dia bergembira dengan berbukanya dan jika berjumpa dengan Rabbnya dia juga bergembira dengan puasanya.’” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/118, no. 1904), Shahiih Muslim (II/807, no. 1151 (164), Sunan an-Nasa-i (IV/163).]

Al-Junnah, dengan mendhammahkan huruf jiim, artinya pencegah dan penghalang. Ar-Rafatsu, dengan membaris ataskan huruf ra’, fa’ dan tsa’, yaitu ucapan yang kotor. La yajhal, yaitu dia tidak melakukan perbuatan orang-orang yang bodoh seperti berteriak, kurang ajar atau yang lainnya. Al-khuluf, yaitu perubahan bau mu-lut orang yang berpuasa karena puasanya (Fat-hul Baari, IV/125, 26, 127, cet. Darul Ma’rifah).

3. Bagi orang yang berpuasa disediakan pintu khusus di Surga

Juga dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَيَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ: أَيْنَ الصّاَئِمُوْنَ ؟ فَيَقُوْمُوْنَ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ, فَإِذَا دَخَلُوْا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ.

“Sesungguhnya di Surga itu terdapat satu pintu yang diberi nama ar-Rayyan. Dari pintu itu orang-orang yang berpuasa akan masuk pada hari Kiamat kelak, tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu itu selain mereka. Dikatakan kepada mereka, ‘Manakah orang-orang yang berpuasa?’ Kemudian mereka berdiri (untuk memasukinya), tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu itu selain mereka, manakala mereka telah masuk, pintu itu ditutup dan tidak ada yang masuk selain mereka.” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/111, no. 1896) dan ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (II/808, no. 1152), Sunan at-Tirmidzi (II/132, no. 762), Sunan Ibni Majah (I/525, no. 1640), Sunan an-Nasa-i (IV/168) dengan lafazh yang sama dan ada sedikit tambahan.]

Wajib Berpuasa Ramadhan Dikarenakan Melihat Hilal (Bulan)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ, فَإِنْ غُمِيَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوْا ثَلاَثِيْنَ.

“Berpuasalah kalian karena telah melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian karena telah melihatnya pula. Dan jika bulan itu tertutup dari pandangan kalian, maka hitunglah bulan (Sya’ban) menjadi 30 hari.” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih Muslim (II/762, no. 1081 (19) dan ini adalah lafazh-nya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/119, no. 1909), Sunan an-Nasa-i (IV/133).]

Dengan Apa Bulan Ditetapkan?

Bulan Ramadhan ditetapkan dengan melihat hilal (bulan), walaupun yang melihatnya hanya satu orang yang terpercaya atau dengan menggenapkan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Orang-orang sedang berusaha melihat hilal, lalu aku memberitahu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya aku telah melihatnya, kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” [Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 908)], Fiqhus Sunnah (I/367), dan hadits ini di-riwayatkan oleh Abu Dawud (VI/468, no. 2325).]

Jika bulan tidak bisa dilihat disebabkan oleh mendung atau yang lainnya, maka bilangan bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari, berdasarkan hadits Abu Hurairah yang telah lalu. Adapun bulan Syawwal, maka ia tidaklah ditetapkan kecuali dengan persaksian dua orang.

Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Zaid bin al-Kahthtab, bahwasanya dia berkhutbah pada hari yang diragukan untuk berpuasa padanya, dan berkata, “Ketahuilah bahwasanya aku telah bersama para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku telah bertanya kepada mereka, lalu mereka mengatakan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ, وَانْسُكُوْا لَهَا, فَإِنْ غُمَّى عَلَيْكُمْ فَأَتِمُّوا ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا, فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ مُسْلِمَانِ فَصُوْمُوا وَأَفْطِرُوْا.

“Berpuasalah kalian karena telah melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian karena telah melihatnya pula, serta beribadahlah karena melihatnya. Jika bulan itu tertutup dari pandangan kalian, maka genapkanlah menjadi 30 hari. Dan jika ada dua orang muslim yang memberi kesaksian (melihat bulan), maka berpuasa dan berbukalah kalian.’” [Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3811)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani IX/264 dan 265/50), Sunan an-Nasa-i (IV/132 dan 133) tanpa kalimat: مُسْلِمَانِ.]

Diriwayatkan dari Gubernur Makkah al-Harits bin Hatibz, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengamanatkan kepada kami agar kami beribadah berdasarkan melihat bulan. Jika kami tidak bisa melihatnya dan telah bersaksi dua orang yang terpercaya (bahwa mereka telah melihatnya), maka kami beribadah berdasarkan persaksian mereka berdua.” [Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 205), Sunan Abu Dawud (VI/463, no. 2321).]

Dalam sabdanya yang berbunyi “Dan jika ada dua orang yang memberi kesaksian (melihat bulan), maka berpuasa dan berbukalah kalian” dari hadits ‘Abdurrahman bin Zaid. Dan sabdanya, “Jika kami tidak bisa melihatnya (bulan) dan telah bersaksi dua orang yang terpercaya (bahwa mereka telah melihatnya), maka kami beribadah berdasarkan persaksian mereka tersebut.” dalam hadits al-Harits, keduanya memberi pengertian bahwa tidak boleh menetapkan saat berpuasa dan berbuka (masuk bulan Syawwal) dengan persaksian satu orang saja, kecuali penetapan waktu puasa karena telah ada dalil yang membolehkan hal tersebut (persaksian satu orang), sedangkan waktu berbuka tidak ada dalil yang menunukkan hal tersebut, maka ia tetap dalam hukum asalnya (yaitu harus dengan persaksian dua orang yang terpercaya). [Sampai di sini penukilan dari kitab Tuhfatul Ahwadzi (III/373-374), dengan sedikit perubahan.]

Perhatian:

Barangsiapa yang melihat hilal seorang diri, maka janganlah ia berpuasa hingga manusia yang lainnya berpuasa. Begitu pula jangan dia berbuka hingga mereka berbuka, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaiahi wa sallam telah bersabda:

اَلصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ.

“Waktu puasa adalah hari di mana kalian semua berpuasa, waktu berbuka (‘Iedul Fithri) adalah di hari kalian semua berbuka, dan hari ‘Idul Adha ialah hari di mana kalian berkurban.” [Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3869)], Sunan at-Tirmidzi (II/101, no. 693) dan dia berkata, “Menurut sebagian ahli ilmu, maksud hadits ini adalah kita berpuasa dan berbuka bersama-sama dengan jama’ah dan orang banyak.“]

Kepada Siapa Puasa Diwajibkan?

Para ulama telah sepakat bahwa puasa wajib atas seorang muslim yang berakal, baligh, sehat, dan bermukim (tidak musafir), dan bagi seorang wanita hendaklah ia suci dari haidh dan nifas. [Fiqhus Sunnah (I/506) cet. ar-Rayyan]

Adapun tentang tidak wajib berpuasa bagi mereka yang tidak berakal dan belum baligh, maka berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ.

“Telah diangkat pena dari tiga golongan: dari orang gila sampai ia sadar, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga ia baligh.” [Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir 3514], Sunan at-Tirmidzi (II/102/693).]

Sedangkan tentang tidak wajibnya berpuasa atas orang yang sakit dan musafir, maka berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“… Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain…” [Al-Baqarah: 185]

Jikalau orang yang sakit dan musafir tersebut tetap berpuasa, maka hal tersebut telah mencukupinya, karena dibolehkannya mereka berbuka merupakan suatu bentuk keringanan (rukhsah), dan jika mereka tetap melaksanakan yang wajib, maka itu adalah baik.

Mana Yang Lebih Utama Bagi Orang sakit & Musafir, Berbuka Atau Puasa?

Jika orang yang sakit dan musafir tidak mendapatkan kesulitan dalam berpuasa, maka berpuasa lebih utama, sedangkan jika mereka menemukan kesulitan dalam berpuasa, maka berbuka lebih utama.

Telah diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Kami pergi berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat bulan Ramadhan, di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang berbuka. Mereka yang berpuasa tidak mencela yang berbuka, begitu pula sebaliknya yang berbuka tidak mencela yang berpuasa. Mereka berpandangan, bagi orang yang memiliki kekuatan, berpuasa untuknya lebih baik. Dan bagi yang merasa lemah, maka berbuka adalah lebih baik.” [Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 574)], Shahiih Muslim (II/787, no. 1116 (96)), Sunan at-Tirmidzi (II/108, no. 708).]

Adapun tentang tidak wajibnya berpuasa atas wanita yang sedang haidh dan nifas, maka berdasarkan hadits Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا.

Bukankah mereka (para wanita) jika sedang haidh mereka tidak shalat dan tidak berpuasa? Itulah kekurangan mereka dari segi agama.” [Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 951], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/191, no. 1951).]

Jika wanita yang haidh dan nifas tetap berpuasa, maka puasanya itu tidak mencukupi mereka (tidak sah puasanya), karena salah satu syarat puasa adalah suci dari haidh dan nifas, dan wajib bagi mereka untuk mengqadha’ puasa tersebut.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Dahulu di saat kami sedang haidh di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” [Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 630)], Shahiih Muslim (I/265, no. 335), Sunan Abi Dawud (I/444, no. 209, 260), Sunan at-Tirmidzi (II/141, no. 784), Sunan an-Nasa-i (IV/191).]

Apa Yang Wajib Dilakukan Oleh Lelaki Tua Jompo Dan Wanita Tua Yang Lemah, Juga Orang Sakit Yang Tidak Ada Harapan Sembuh?

Barangsiapa yang tidak mampu berpuasa dikarenakan lanjut usia atau yang semisalnya, maka boleh baginya berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari dari hari-hari yang ditinggalkannya, berdasarkan firman Allah:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin….” [Al-Baqarah: 184]

Diriwayatkan dari ‘Atha’, bahwasanya dia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca ayat tersebut, kemudian Ibnu ‘Abbas berkata, “Ayat ini tidak mansukh (dihapus hukumnya), yang dimaksud adalah lelaki dan wanita yang sudah lanjut usia, dimana mereka tidak mampu untuk berpuasa, maka mereka memberi makan orang miskin setiap hari dari hari-hari yang ditinggalannya.” [Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 912)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (VIII/179, no. 4505).]

Wanita Hamil Dan Menyusui

Wanita yang sedang hamil dan menyusui, jika mereka tidak mampu untuk berpuasa atau khawatir akan anak-anaknya bila mereka berpuasa, maka boleh bagi mereka berdua untuk berbuka dan wajib atas mereka untuk membayar fidyah tetapi mereka tidak wajib mengqadha’.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyalahu anhuma, bahwasanya dia berkata, “Diberikan keringanan kepada orang yang sudah tua dan wanita tua yang lemah dalam hal tersebut, sedang keduanya sanggup berpuasa untuk tidak berpuasa jika mereka mau dan memberi makan orang miskin setiap hari serta tidak ada kewajiban qadha’ atas keduanya. Kemudian hukum ini dinasakh dengan ayat ini:

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kamu yang hadir di bulan itu (Rama-dhan), maka hendaklah dia berpuasa.” [Al-Baqarah: 185]

Dan telah ditetapkan bagi orang yang sudah tua dan wanita tua yang lemah, jika keduanya tidak mampu berpuasa. Juga bagi wanita yang sedang hamil dan menyusui, jika keduanya khawatir, maka mereka boleh tidak berpuasa dan harus memberi makan seorang miskin setiap hari.” [Sanadnya kuat: HR. Al-Baihaqi (IV/230).]

Juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Jika wanita yang sedang hamil khawatir akan dirinya, begitu juga wanita yang menyusui khawatir akan anaknya di saat bulan Ramadhan, maka boleh bagi mereka berdua untuk berbuka, kemudian memberi makan orang miskin setiap hari dari hari-hari yang ia tinggalkan dan tidak wajib atas mereka mengqadha’ puasa.” [Shahih: Syaikh al-Albani menyandarkannya dalam Irwaa-ul Ghaliil (IV/19) kepada ath-Thabari (no. 2758) dan ia berkata sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim.]

Dari Nafi’ Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Salah seorang puteri dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu menjadi isteri salah seorang laki-laki Quraisy, dan di saat Ramadhan ia sedang hamil, kemudian ia kehausan, maka Ibnu ‘Umar memerintahkannya untuk berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari (yang ditinggalkan).” [Sanadnya shahih: [Irwaa-ul Ghaliil IV/20], ad-Daraquthni (II/207, no. 15).]

Ukuran Makanan Yang Wajib Dikeluarkan

Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya dia pernah tidak mampu berpuasa selama setahun (30 hari di bulan Ramadhan-pent.), maka dia pun membuat bubur satu mangkuk besar dan memanggil 30 orang miskin hingga membuat mereka semua kenyang. [Sanadnya shahih: [Irwaa-ul Ghaliil IV/21], ad-Daraquthni (II/207, no. 16).]

Rukun-Rukun Puasa

a. Niat

Berdasarkan firman Allah:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (men-jalankan) agama yang lurus…” [Al-Bayyinah: 5]

Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.

Sesungguhnya amal perbuatan itu disertai niat dan setiap orang mendapat ganjaran atas amalnya sesuai dengan niatnya.” [ Telah berlalu takhrijnya pada kitab Thaharah.]

Dan niat tersebut harus dilakukan sebelum terbit fajar di setiap malam Ramadhan. Hal ini berdasarkan hadits Hafshah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ.

“Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya.” [Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6538)], Sunan Abi Dawud (VII/122, no. 2437), Sunan at-Tirmidzi (II/116, no. 726), Sunan an-Nasa-i (IV/196) se-misal dengannya.]

b. Menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari

Allah Ta’ala berfirman:

فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“… Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu dan makan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam…” [Al-Baqarah: 187]

Enam Hal yang Membatalkan Puasa

a, b. Makan dan minum dengan sengaja

Jika seseorang makan atau minum dalam keadaan lupa, maka dia tidak wajib mengqadha’ dan membayar kafarat, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ.

Barangsiapa yang lupa bahwasanya dia sedang berpuasa, lalu dia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah telah memberi makan dan minum kepadanya.” [Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6573)], Shahiih Muslim (II/809, no. 1155) dan ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/155, no. 1923), Sunan Ibni Majah (I/535, no. 1673), Sunan at-Tirmidzi (II/112, no. 717).]

b. Muntah dengan sengaja

Sedangkan kalau tidak sengaja, maka tidak wajib atasnya mengqadha’ puasa dan membayar kafarat. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ ذَرَعَهُ القَيءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنِِ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِِ.

Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja, maka dia tidak wajib mengqadha’ puasa, sedangkan barangsiapa yang sengaja muntah, maka wajib baginya mengqadha’.” [Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6243)], Sunan at-Tirmidzi (II/111, no. 716), Sunan Abi Dawud (VII/6, no. 2363), Sunan Ibni Majah (I/536, no. 1676). ]

d, e. Haidh dan Nifas

Walaupun hal ini terjadi pada detik terakhir dari siang (menjelang buka puasa), berdasarkan kesepakatan (ijma’) para ulama.

f. Bersetubuh Dan dengannya diwajibkan kafarat yang tersebut dalam hadits berikut:

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhua, dia berkata, “Di saat kami sedang duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, datanglah seorang laki-laki seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam binasalah aku.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang telah membinasakan dirimu?‘ Dia menjawab, ‘Aku telah berhubungan badan dengan isteriku sedangkan aku dalam keadaan berpuasa Ramadhan.’ Beliau bertanya, ‘Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?‘ ‘Tidak,’ jawabnya. Lalu beliau bertanya lagi: ‘Apakah engkau mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut?‘ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bertanya lagi, ‘Dan apakah engkau mampu memberi makan kepada 60 orang miskin?‘ Dia pun menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam, dan di saat kami sedang dalam keadaan seperti itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi sekeranjang ‘araq* kurma, lalu beliau berkata, ‘Mana orang yang bertanya tadi?‘ Orang itu pun menjawab, ‘Saya.’ Beliau bersabda, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Laki-laki itu berkata, ‘Adakah orang yang lebih miskin dari pada kami wahai Rasulullah? Demi Allah tidak ada satu keluarga di antara dua tempat yang banyak batu hitamnya di Madinah yang lebih faqir dari pada kami.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga terlihat gigi taringnya, kemudian beliau berkata, ‘Berilah makan keluargamu dari sedekah itu.’” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/163, no. 1936), Shahiih Muslim (II/781, no. 1111), Sunan Abi Dawud (VII/20, no. 2373), Sunan at-Tirmidzi (II/113, no. 720), Sunan Ibni Majah (I/534, no. 1671).]

*) ‘Araq menurut fuqaha adalah keranjang yang memuat 15 sha’, yaitu 60 mud. Untuk 60 orang miskin, dan untuk setiap orang miskin mendapatkan satu mud. (Shahiih Muslim Syarh Imam an-Nawawi (VII/226).-pent.)

Adab-Adab Puasa

Dianjurkan bagi orang yang berpuasa untuk memperhatikan beberapa adab berikut ini:

a. Makan Sahur

Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً.

Makan sahurlah kalian karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.“[Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/139, no. 1923), Shahiih Muslim (II/770, no. 1095), Sunan at-Tirmidzi (II/106, no. 703), Sunan an-Nasa-i (IV/141), Sunan Ibni Majah (I/540, no. 1692). ]

Dan telah terhitung makan sahur walaupun hanya dengan seteguk air, berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا وَلَوْ بِجُرْعَةِ مَاءٍ.

Makan sahurlah kalian meski hanya dengan seteguk air.” [Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2945)], Shahiih Ibni Hibban (no. 223, 884).]

Disunnahkan untuk mengakhirkan makan sahur, sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, dia berkata, “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah itu beliau langsung berangkat shalat. Aku bertanya, ‘Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?’ Dia menjawab, ‘Kira-kira sama seperti bacaan 50 ayat.’” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/138, no. 1921), Shahiih Muslim (II/771, no. 1097), Sunan at-Tirmidzi (II/104, no. 699), Sunan an-Nasa-i (IV/143), Sunan Ibni Majah (I/540, no. 1694).]

Jika adzan telah terdengar dan makanan atau minuman masih di tangannya, maka boleh ia memakan atau meminumnya, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَاْلإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ.

Barangsiapa di antara kalian yang mendengar adzan (Shubuh) dan bejana (makanan) masih di tangannya, maka janganlah ia menaruhnya sebelum ia menyelesaikan makannya.” [Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 607)], Sunan Abi Dawud (VI/475, no. 2333), Mustadrak al-Hakim (I/426). ]

b. Menahan diri dari pembicaraan yang tidak bermanfaat dan kata-kata kotor, atau yang semisal dengannya dari hal-hal yang bertentangan dengan tujuan puasa

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا كَانَ يَوْمَ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ وَلاَ يَجْهَلْ, فَإِذَا شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَليَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ.

Jika pada hari salah seorang diantara kalian berpuasa, maka janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, membuat kegaduhan dan tidak juga melakukan perbuatan orang-orang bodoh. Dan jika ada orang yang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” [Penggalan dari hadits: “Setiap amal anak Adam adalah untuknya sendiri…” dan telah berlalu takhrijnya.]

Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلِيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِيِ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengerjakannya, maka Allah tidak memerlukan orang itu untuk meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” [Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 921)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/116, no. 1903), Sunan Abi Dawud (VI/488, no. 2345), Sunan at-Tirmidzi (II/105, no. 702).]

c. Sifat dermawan dan memperbanyak bacaan al-Qur-an

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling pemurah dalam kebaikan dan beliau akan lebih dermawan (dari hari-hari biasanya) pada bulan Ramadhan, ketika Jibril datang menemuinya dan adalah Jibril selalu datang menemuinya setiap malam dari malam-malam bulan Ramadhan, hingga Ramadhan selesai, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan al-Qur-an kepada Jibril. Dan di saat ia bertemu Jibril beliau lebih pemurah (lembut) dari angin yang berhembus dengan lembut.” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari I/30, no. 6), Shahiih Muslim (IV/1803, no. 2308).]

d. Menyegerakan berbuka (ta’-jil)

Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَزَالُ النّاَسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ.

Umat manusia akan tetap baik selama mereka menyegerakan berbuka puasa.”[Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/198, no. 1957), Shahiih Muslim (II/771, no. 1098), Sunan at-Tirmidzi (II/103, no. 695). ]

e. Berbuka puasa dengan apa yang mudah didapatkan baginya dari hal-hal yang tersebut dalam hadits berikut

Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Nabi biasa berbuka dengan ruthab (kurma segar) sebelum mengerjakan shalat. Jika beliau tidak mendapatkan ruthab, maka beliau berbuka dengan beberapa buah tamr (kurma masak yang sudah lama dipetik) dan jika tidak mendapatkan tamr, maka beliau meminum air.” [Hasan shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 2065)], Sunan Abi Dawud (VI/ 481, no. 2339), Sunan at-Tirmidzi (II/102, no. 692).]

f. Berdo’a ketika berbuka puasa

Berdoa dengan do’a yang terdapat dalam hadits berikut ini Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berbuka puasa selalu membaca:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ.

Telah hilang rasa haus dan telah basah urat-urat, serta telah ditetapkan pahala, insya Allah.” [Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2066)], Sunan Abi Dawud (VI/482, no. 2340).]

Hal-Hal Yang Boleh Dilakukan Oleh Orang Yang Berpuasa

a. Mandi untuk mendinginkan badan

Diriwayatkan dari Abu Bakar bin ‘Abdirrahman, dari sebagian Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di al-‘Arj (nama sebuah desa yang berjarak beberapa hari perjalanan dari Madinah) sedang menyirami kepalanya dengan air, sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa, karena haus atau panas yang menyengat.”[Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2072)], Sunan Abi Dawud (VI/492, no. 2348).]

b. Berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak berlebih-lebihan

Dari Laqith bin Shabrah Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَبَالِغْ فِي اْلاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا.

Dan lakukanlah istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) dengan sangat kecuali jika engkau dalam keadaan puasa.” [Telah berlalu takhrijnya pada kitab Thaharah.]

c. Hijamah (berbekam)

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Bahwa Nabi pernah berbekam sedang beliau dalam keadaan berpuasa.” [Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2079)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/174, no. 1939), Sunan Abi Dawud (VI/498, no. 2355), Sunan at-Tirmidzi (II/137, no. 772), dengan tambahan: “… Dan ia dalam keadaan ihram.”]

Akan tetapi berbekam dimakruhkan jika ia khawatir menyebabkan badan menjadi lemah. Diriwayatkan dari Tsabit al-Banani, dia berkata, Anas bin Malik pernah ditanya, “Apakah kalian membenci berbekam bagi orang yang berpuasa?” Dia menjawab, “Tidak, kecuali jika menyebabkan badan menjadi lemah.” [Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 947)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/174, no. 1940). Dan termasuk dalam hukum hijamah ini, donor darah, jika orang yang mendonorkan darahnya khawatir akan dirinya, maka dia tidak boleh melakukannya di siang hari kecuali jika terpaksa.]

d. Bercumbu dan berciuman bagi mereka yang mampu menahan dirinya

Telah diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa ia pernah bercerita, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium dan bercumbu yang saat itu beliau tengah berpuasa, hanya saja beliau adalah orang paling kuat menahan hawa nafsunya di antara kalian.” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/149, no. 1927), Shahiih Muslim (II/777, no. 1106 (25)), Sunan Abi Dawud (VII/9, no. 2365), Sunan at-Tirmidzi (II/116, no. 725).]

e. Bangun setelah waktu Shubuh tiba dalam keadaan junub

Berdasarkan apa yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dan Ummu Salamah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati fajar telah terbit sedang beliau dalam keadaan junub karena bercampur dengan isterinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.[Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/143, no. 1926), Shahiih Muslim (IV/779, no. 1109), Sunan Abu Dawud (VII/14, no. 2371), Sunan at-Tirmidzi (II/139, no. 776).]

f. Melanjutkan puasa hingga waktu sahur

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, bahwasanya dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُوَاصِلُوا, فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ حَتَّى السَّحَرَ, قَالُوْا: فَإِنَّكَ تُوَاصِلُ يَارَسُوْلَ اللهِ, قَالَ: لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ, إِنِّى أُبِيْتُ لِي مُطْعِمٌ يُطْعِمُنِي وَسَاقٍ يُسْقِيْنِيْ.

Janganlah kalian menyambung puasa dan barangsiapa di antara kalian ingin melakukannya, maka hendaklah ia menyambung puasanya hingga waktu sahur.” Para Sahabat bertanya, “Bukankah engkau juga menyambung puasa wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Keadaanku tidak seperti kalian, sesungguhnya Allah telah menyiapkan aku penjaga yang akan memberiku makan dan minum.” [Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud no. 269], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/208, no. 1967), Sunan Abu Dawud (VI/487, no. 2344).]

g. Bersiwak, memakai wangi-wangian, minyak rambut, celak mata, obat tetes mata dan suntikan.

Dasar dibolehkannya semua ini adalah hukum asalnya yang terlepas dari larangan (al-Bara’ah al-Ashliyah), jika hal tersebut diharamkan bagi orang yang berpuasa niscaya Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

Dan tidaklah Rabb-mu lupa” [Maryam: 64]

------------------------------------------------------

[ FAIDAH LAIN ]

Adab-Adab Berhari Raya (‘Id)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan kepada kita adab-adab di hari raya, baik terkait degan shalat ‘ied maupun lainnya. Berikut ini penjelasannya:

1. Mandi hari raya, dengan tata cara seperti mandi junub. Berdasarkan atsar dari beberapa sahabat Radhiyallahu anhum seperti Ibnu Umar dan Ali Radhiyallahu anhuma, dan merupakan pendapat yang dipegang oleh banyak kalangan tabi’in serta para ulama setelah mereka, termasuk Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’rahimahumullah.

2. Membersihkan diri, memakai wewangian (bagi laki-laki), dan bersiwak, sebagaimana disyariatkan pada hari Jum’at. Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma yang dalamnya terdapat ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِنْ كَانَ طِيبٌ فَلْيَمَسَّ مِنْهُ وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ

Dan jika ada minyak wangi maka sentuhkanlah darinya (pada pakaian dan badan, pent. Serta hendaknya kamu bersiwak.”

3. Mengenakan pakaian terbaik yang dipunyai. Hal itu berdasarkan hadits yang diceritakan oleh Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhuma di dalam Shahih Al-Bukhari (no. 948) dan Shahih Muslim (no. 2068)

4. Disunnahkan untuk makan sebelum berangkat menuju shalat ‘Idul Fithri, diutamakan berupa beberapa buah kurma dengan bilangan ganjil. Sedangkan pada ‘Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan kecuali setelah usai shalat ‘Idul Adha agar dia bisa memakan dari daging hewan kurbannya. Hal itu berdasarkan kepada hadits dari Anas Radhiyallahu anhu dan dari Buraidah Radhiyallahu anhu.

5. Berjalan kaki –jika memungkinkan- menuju lapangan shalat ‘Id dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Hal ini berdasarkan hadit dari beberapa sahabat seperti Sa’ad bin Abi Waqqash dan Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, dan Abu Rafi’ Radhiyallahu anhu.

6. Disunnahkan untuk mengerjakan shalat ‘Id di lapangan (tempat terbuka) kecuali jika ada udzur atau halangan maka dikerjakan di masjid. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu anhu.

7. Berangkat ke lapangan shalat ‘Id dari satu jalan dan pulang dari jalan yang lain –jika memungkinkan-. Dan hukumnya sunnah berdsarkan hadits dari Jabir Radhiyallahu anhu.

8. Bagi makmum dianjurkan untuk bersegera datang ke lapangan shalat ‘Id –beberapa saat- selepas shalat subuh. Sedangkan imam dianjurkan untuk datang belakangan sampai tiba waktunya shalat ‘Id. Hal ini berdasarkan apa yang dipahami dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu anhu di atas.

9. Bertakbir dari sejak keluar rumah menuju tempat shalat ‘Id hingga shalat ‘Id dilaksanakan, dengan suara nyaring (bagi laki-laki). Hal itu berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla:

وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ الله عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu (bertakbir) mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [al-Baqarah/2: 185]

Dan berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau keluar menuju tempat shalat ‘Id.

Dengan ayat di atas sebagian ulama berdalil tentang dimulainya takbir secara mutlak dari sejak malam hari ‘Idul Fithri yaitu setelah ditetapkan bahwa besok adalah hari ‘Id, baik dengan terlihatnya hilal awal Syawwal atau dengan disempurnakannya bilangan Ramadhan menjadi 30 hari.

Adapun kalimat-kalimat takbir maka terdapat beberapa atsar dari sahabat, di antaranya:

• Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu :

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَللهِ الْحَمْدُ.

Ini juga yang teriwayatkan dari Umar dan Ali Radhiallahu ‘anhuma.

• Dalam salah satu riwayat dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu :

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، وَللهِ الْحَمْدُ.

• Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma:

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَللهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، اللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا

• Dari Salman Radhiyallahu anhu :

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيراً.

10. Tidak ada shalat sebelum dan sesudah shalat ‘ied. Hal itu berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.

11. Tidak ada adzan dan iqamah untuk shalat ‘ied. Hal ini berdasarkan pada hadits dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu.

12. Tidak mengapa memainkan rebana bagi anak-anak perempuan dan permainan yang dibolehkan pada hari ‘Id. Hal itu berdasarkan pada hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anhuma

13. Keluarnya para wanita ke tempat shalat ‘Id dengan mengenakan pakaian hijab atau jilbabnya dan tanpa memakai wewangian. Berdasarkan hadits dari Ummu ‘Athiyah Radhiallahu ‘anha yang lalu.

14. Hadirnya anak-anak di lapangan shalat ‘Id untuk ikut menyaksikan do’a dan kebaikan. Hal itu berdasarkan pada hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma.

15. Saling memberi ucapan selamat ketika berjumpa dengan saudaranya, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum seperti diceritakan oleh Jubair bin Nufair. ia berkata, “Adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bertemu di hari raya (‘Id), sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain:

(تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ) semoga Allah menerima –ibadah- kami dan anda.”

16. Bagi yang tertinggal shalat ‘Id bersama jama’ah, maka hendaknya dia mengqadha’ (mengganti)nya, dengan tata cara yang sama sebanyak dua rakaat. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Waktu Shalat ‘Id

Awal waktu shalat ‘Ied adalah ketika matahari naik sepenggalahan atau setinggi tombak setelah terbitnya. Berdasarkan apa yang diceritakan oleh Yazid bin Humair Ar-Rahabi bahwa Abdullah bin Busr Radhiyalalhu anhu salah satu sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama orang-orang pada hari ‘Idul Fithri atau ‘Idul Adha, beliau mengingkari keterlambatan imam (memulai shalat), beliau mengatakan, “Sesungguhnya kami dulu telah selesai (dari shalat) di saat seperti ini, yaitu ketika tiba waktu shalat tasbih.” yakni waktu shalat sunnah dhuha seperti tertuang dalam riwayat Ath-Thabarani.

Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Para fuqaha telah bersepakat bahwa shalt ‘Id tidak dilakukan sebelum matahari terbit maupun ketika sedang terbit. Sesungguhnya mereka hanya membolehkannya pada waktu dibolehkannya shalat nafilah (sunnah).” Dan akhir waktunya adalah sampai tergelincirnya (zawal) matahari dengan dalil sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Umair bin Anas dari paman-pamannya yang tergolong para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan kaum Anshar.

Untuk shalat ‘Idul Fithri dianjurkan untuk diakhirkan sedikit agar memberi kesempatan bagi mereka yang ingin menunaikan zakat fithri. Sedangkan shalat ‘Idul Adha dianjurkan untuk diawalkan waktu pelaksanaannya agar dapat disegerakan penyembelihan hewan-hewan kurban.

Tata Cara Shalat ‘Id

Hendaknya imam meletakkan sutrah di hadapannya sebelum memulai shalatnya, baik berupa tongkat atau semisalnya, seperti yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhuma.

Dan tidak ada perbedaan di antara para ulama bahwa shalat ‘Id, baik ‘Idul Fithri maupun ‘Idul Adha, adalah dua rakaat sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu anhu.

Shalat ‘Id dilakukan sebelum khutbah. Rakaat pertama dengan tujuh kali takbir termasuk takbiratul ihram, yang mana setelah takbiratul ihram membaca do’a istiftah baru disusul dengan enam takbir berikutnya. Sedangkan rakaat kedua dengan lima kali takbir di luar takbir perpindahan pada saat bangkit dari raka’at pertama ke raka’at kedua. Hal ini berdasarkan hadits dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash Radhiallahu ‘anhuma dan hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anhuma. Dan di antara takbir tersebut tidak ada bacaan dzikir tertentu selain bacaan do’a istiftah setelah takbiratul ihram dan hal ini dikembalikan kepada imam. Jika imam diam tanpa membaca apapun maka tidak mengapa. Wallahu A’lam.

Pada raka’at pertama, setelah bertakbir tujuh kali, membaca isti’adzah lalu membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca surat Qaaf. Dan di raka’at kedua, setelah bertakbir lima kali, membaca isti’adzah lalu membaca surat al-Fatihah, membaca surat al-Qamar. Atau pada raka’at pertama membaca surat al-A’la (setelah al-Fatihah) dan pada raka’aat kedua membaca surat al-Ghasyiah (setelah al-Fatihah). Namun dibolehkan membaca surat-surat lainnya setelah al-Fatihah apa yang mudah bagi seorang imam berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu waTa’ala,

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

“ … karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran.” [al-Muzzammil/73: 20]

Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam
------------------------------------

Sumber : Kitab Al-Wajiz Fil Fiqh As-sunnah wa Al-Kitab Al-‘Aziz Karya Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi dan Kitab Fiqhu As-sunnah Karya Syaikh Sayyid Sabiq



Baca Juga Artikel ini:

Belum ada tanggapan untuk "Panduan Ringkas dan Lengkap Puasa Ramdhan"

Posting Komentar